Sabtu, 20 April 2013

Gadis Peminta-minta
Setiap kita ketemu,gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang,tanpa jiwa.
Ingin aku ikut,gadis kecil berkaleng kecil
pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemajuan riang.
Duniamu lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas diatas air kotor,tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni,terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku.
Kalau kau mati,gadis kecil berkaleng kecil
Bulan diatas itu,tak ada yang punya
Dan kotaku,ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda.

STRUKTUR BATIN PUISI
1)      Tema (Sense)
Tema merupakan gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair. Tema puisi “Gadis Kecil Peminta-minta” adalah tema Kemanusiaan, yaitu menggambarkan kehidupan si gadis peminta-minta.
2)      Rasa (Feeling)
Rasa adalah sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Perasaan penyair (Toto Sudarto Bachtiar) dalam puisi “Gadis Kecil Peminta-minta” adalah merasa iba terhadap apa yang dialami oleh gadis kecil berkaleng kecil. Bahkan penyair juga ingin ikut bersamanya dalam keras dan kejamnya kehidupan kota yang tidak berpihak.
3)      Nada   (Tone)
Nada adalah sikap penyair terhadap pembacanya yang berkaitan dengan tema dan rasa. Nada/sikap penyair dalam puisi “Gadis Kecil Peminta-minta” adalah merendahkan dirinya, dan ingin meninggikan derajat gadis kecil berkaleng kecil bahkan dikatakan lebih tinggi dari menara katedral.

4)      Amanat
Amanat adalah hal/tujuan yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Tujuan penyair menciptakan puisi “Gadis Peminta-minta” adalah  agar kita jangan pernah menganggap rendah orang lain yang status sosialnya lebih rendah daripada kita. Karena dimata Tuhan derajat manusia adalah sama.

STRUKTUR FISIK PUISI

1)      Perwajahan puisi (tipografi)
Tipografi yaitu bentuk penulisan puisi dan merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama. Tipografi puisi “Gadis Peminta-minta” adalah setiap baitnya terdiri dari empat baris atau quatrain. Selain itu setiap bait pada baris terakhirnya selalu diakhiri dengan tanda titik yang mungkin dimaksudkan untuk mempertegas jumlah setiap baitya.

2)      Diksi
Diksi yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Dalam puisi “Gadis Peminta-minta” penyair menggunakan diksi yang padat, namun memiliki arti yang sangat mengena dihati pembaca. Misalnya gadis peminta-minta yang disebut pengarang sebagai gadis kecil berkaleng kecil dan bulan merah jambu yang melambangkan kasih tanpa pamrih.

3)      Imaji
Imaji adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti pendengaran, penglihatan dan . Imaji dalam puisi “gadis Peminta-minta” secara keseluruhan merupakan imaji penglihatan.
Imaji penglihatan antara lain adalah ‘senyummu, menara katedral, melintas-lintas diatas air kotor dan gemerlapan.’
4)      Kata Kongkret
Kata kongkret adalah kata yang dapat ditangkap indra yang memungkinkan munculnya imaji. Dalam puisi “Gadis Peminta-minta” penyair untuk melukiskan gadis itu benar-benar seorang pengemis gembel, penyair menggunakan kata-kata “gadis kecil berkaleng kecil”. Lukisan itu lebih konkret daripada dengan menggunakan diksi “gadis peminta-minta” atau “gadis miskin”. Untuk melukiskan tempat tidur pengap di bawah jembatan yang hanya dapat untuk menelentangkan tubuh, penyair menulis “pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok” . Untuk memperkonkret dunia pengemis yang penuh kemayaan, penyair memperkonkret diksi “hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan gembira dari kemayaan riang”. Untuk memperkonkret gambaran tentang martabat gadis itu yang sama halnya memiliki martabat tinggi seperti manusia lainnya, penyair menulis “duniamu yang tinggi dari, menara Katedral”.
5)      Bahasa Figuratif
Bahasa figuratif yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Bahasa Figuratif dalam puisi “Gadis Peminta-minta” adalah kata ‘bulan merah jambu’ yang menimbulkan banyak tafsir makna antara orang yang satu dengan yang lain. Namun penulis menafsirkan bahwa yang dimaksudkan penyair sebagai ‘bulan merah jambu’ adalah kasih sayang tanpa pamrih dari orang-orang memberinya sedikit materi untuk dia bertahan hidup.

6)      Versifikasi
Versifikasi yaitu hal-hal yang menyangkut rima, ritme dan metrum. Dalam kajian terhadap puisi “Gadis Peminta-minta” lebih menonjol kajiannya pada bentuk rima, karena ritme dan metrum lebih banyak menonjol pada pembacaan puisinya. Versifikasi yang menyangkut rima dalam puisi ini tidak banyak ditonjolkan karena penggunaan pola persajakannya cenderung bebas, hanya ada sedikit pengulangan kata ‘Gadis kecil berkaleng kecil’ yang ditemukan pada baris pertama paragraf satu, dua dan empat.

Ilusi Hati

Terasing dalam bimbang
Tertaut rasa kecewa
Aku terka lanskap hatimu
Tertata rapi oleh satu cinta
Hanya dia..
Tentang kebersamaan kita
Itu hanyalah ilusi
Terlampau singkat

Kajian Drama "Pelangi" Karya R.Riantiarno


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Di dalam sastra ada sebuah hubungan yang sangat erat antara apresiasi, kajian dan kritik sastra karena ketiganya merupakan tanggapan terhadap karya sastra.
            Saat pembaca sudah mampu mengapresiasi sastra, pembaca mempunyai kesempatan untuk mengkaji sastra. namun, hal ini tak sekadar mengkaji. Karena mengkaji telah menuntut adanya keilmiahan. Yaitu adanya teori atau pengetahuan yang dimiliki tentang sebuah karya. Saat Apresiasi merupakan tindakan menggauli karya sastra, maka mengkaji ialah tindakan menganalisis yang membutuhkan ilmu atau teori yang melandasinya. tentang penjelasan mengkaji seperti yang diungkapkan oleh Aminudin (1995:39) kajian (sastra) adalah kegiatan mempelajari unsur-unsur dan hubungan antar  unsur dalam karya sastra dengan bertolak dari pendekatan, teori, dan cara kerja tertentu.
            Dengan adanya kajian drama inilah, peminat sastra melakukan analisis yaitu membedah karya-karya yang dibacanya. Sehingga unsur-unsur yang menyusun drama tersebut dapat diketahui. Juga rangkaian hikmah yang ada di dalamnya. Kajian sastra memiliki berbagai pendekatan. pendekatan-pendekatan itu ialah Objektif (struktural dan struktural semiotik), mimesis (sosiologi sastra), ekspresif (hermeuneutik), pragmatik (resepsi sastra & intertekstual), posmodernisme (dekonstruksi, poskolonial, studi kultural, dan feminisme)
            Dalam makalah ini penulis akan melakukan pengkajian naskah drama “Pelangi” karya N.Riantiarno secara struktural dan sosiologi sastra.

2. Rumusan Masalah
            Dari latar belakang di atas dapat kita simpulkan beberapa pertanyaan yang akan di bahas dalam makalah ini yaitu:
1.      Bagaimanakah struktur teks drama “Pelangi” karya N.Riantiarno?
2.      Bagaimanakah konteks sosial dan budaya yang terkandung dalam teks drama “Pelangi” karya N.Riantiarno?
3.       Apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam teks drama “Pelangi” karya N.Riantiarno?
3.Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan penulis tentang kajian terhadap karya sastra (drama) dan agar penulis dapat mengetahui bagaimana mengkaji karya sastra (drama) dengan baik dengan menggunakan suatu pendekatan tertentu. Dalam makalah ini penulis memilih pendekatan strukturalisme dan sosiologi sastra.

4.Metode Penganalisisan Data
Dalam makalah ini dalam mengkaji penulis menggunakan dua metode, yaitu:
a. Metode Studi Pustaka
Metode studi pustaka ini digunakan penulis untuk mencari dan mengumpulkan bahan bacaan atau referensi yang berkaitan dengan materi yang akan penulis kaji.
b.Metode Kualitatif
Yaitu penulis memilih satu jenis judul teks drama kemudian ditelaah dan dicari unsur-unsur-unsur pembentuknya, unsur sosial budaya serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya dengan berdasarkan pada teori pengkajian strukturalisme dan sosiologi sastra yang telah ada sehingga bersifat ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan.

5.Manfaat Penulisan Makalah
a.       Bagi Penulis
Bagi penulis, makalah ini sangat bermanfaat karena setelah mengapresiasi selanjutnya penulis dapat mengalami proses pengkajian, sehingga pengetahuan serta pengalaman penulis akan karya sastra juga bertambah.
b.      Bagi Pembaca
Bagi pembaca, makalah ini dapat menambah wawasan pembaca tentang kajian terhadap karya sastra serta dapat menemukan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.






BAB II
KAJIAN TEORI

Kajian (sastra) adalah kegiatan mempelajari unsur-unsur dan hubungan antarunsur dalam karya sastra dengan bertolak dari pendekatan, teori, dan cara kerja tertentu (Aminuddin, 1995:39).
Drama adalah ragam satra dalam bentuk dialog yang dimaksudkan untuk dipertujukkan di atas pentas (Zaidan, 2000). 
          Talha Bachmid (1990:1-16), seorang doktor dalam bidang kajian drama, mengutip pendapat Patrice Pavis bahwa drama memiliki konvensi dan kaidah umum, yang dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar. Yang pertama berhubungan dengan kaidah bentuk, seperti unsur alur dan pengaluran, tokoh dan penokohan, latar ruang dan waktu, dan perlengkapan. Yang kedua berkaitan dengan konvensi stilistika atau bahasa dramatik.

A.          Kajian Struktur Teks Drama
1.            Alur dan Pengaluran
Algirdas Julien Greimas (A.J. Greimas) adalah penganut aliran strukturalis dari Prancis. Ia mengembangkan teori Propp menjadi dasar sebuah analisis naratif yang universal (Teeuw, 1988: 293). Sebelumnya, Propp telah memperkenalkan unsur naratif terkecil yang sifatnya tetap dalam sebuah karya sastra sebagai fungsi (Todorov, 1985: 48). Berdasarkan penelitiannya tentang dongeng Rusia, Propp membatasi fungsi cerita sebanyak 31 fungsi. Semua fungsi tersebut sifatnya tetap serta urutannya sama dalam setiap dongeng (Hutomo, 1991: 25). Berdasarkan teori Propp inilah Greimas mengemukakan teori aktan.
Menurut Greimas (dalam Jabrohim, 1996: 13) aktan adalah sesuatu yang abstrak, seperti cinta, kebebasan, atau sekelompok tokoh. Menurutnya juga, aktan adalah satuan naratif terkecil. Dikaitkan dengan satuan sintaksis naratif, aktan berarti unsur sintaksis yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu. Fungsi adalah satuan dasar cerita yang menerangkan tindakan logis dan bermakna yang membentuk narasi. Dengan kata lain, skema aktan tetap mementingkan alur sebagai energi terpenting yang menggerakkan cerita sehingga menjadi penceritaan, dengan episode terpenting yang terdiri atas permulaan, komplikasi dan penyelesaian (Ratna, 2004: 139). Kemudian Greimas mengelompokkan aktan ke dalam tiga perangkat oposisi biner. Tiga pasangan oposisional fungsi aktan tersebut disusun dalam skema berikut.

-              subjek vs objek (Subject vs object)
-              pengirim vs penerima (Sender vs receiver)
-              pembantu vs penentang (helper vs opposant)

Berikut ini adalah bagan skema aktan A.j. Greimas

PENGIRIM

è

OBJEK
è
PENERIMA



     é






PENOLONG/
PEMBANTU


è

SUBJEK


ç
PENENTANG/
PENGHAMBAT
     
Adapun fungsi atau kedudukan masing-masing aktan adalah sebagai berikut.
a. Pengirim (sender) adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide dan penggerak cerita. Pengirim memberikan karsa kepada subjek untuk mencapai objek.
b.Objek adalah sesuatu yang dituju atau diinginkan oleh subjek.
c. Subjek adalah sesuatu atau seseorang yang ditugasi pengirim untuk mendapatkan objek.
d. Pembantu (helper) adalah sesuatau atau seseorang yang membantu atau mempermudah usaha subjek untuk mendapatkan objek.
e. Penerima (receiver) adalah sesuatu atau seseorang yang menerima objek yang diusahakan oleh subjek.
f. Penentang (opposant) adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi usaha subjek dalam mencapai objek.

Selain menunjukkan bagan aktan, Greimas juga mengemukakan model cerita yang tetap
sebagai alur. Model itu dibangun oleh berbagai tindakan yang disebut fungsi. Model yang
kemudian disebut model fungsional itu memiliki cara kerja yang tetap karena memang sebuah cerita selalu bergerak dari situasi awal ke situasi akhir. Berikut adalah bagan model fungsional A.J. Greimas.

SITUASI AWAL

TRANSFORMASI

SITUASI AKHIR

Tahap Uji Kecakapan
Tahap Utama
Tahap Keberhasilan










-                      Dalam situasi awal, cerita diawali dengan munculnya pernyataan adanya keinginan untuk mendapatkan sesuatu. Di sini ada panggilan, perintah, atau persetujuan.
-                      Dalam transformasi terdapat tiga tahap, yaitu:
*tahap kecakapan (adanya keberangkatansubjek, munculnya penentang dan penolong, dan jika pahlawan tidak mampu mengatasi tantangan akan didiskualifikasi sebagai pahlawan),
*tahap utama (adanya pergeseran ruang dan waktu, dalam arti pahlawan telah mengatasi tantangan dan melakukan perjalanan kembali).
*tahap kegemilangan atau keberhasilan (kedatangan pahlawan, eksisnya pahlawan asli,terbongkarnya tabir pahlawan palsu, hukuman bagi pahlawan palsu, dan jasi bagi pahlawan sejati).
      -  Dalam situasi akhir objek telah diperoleh dan diterima oleh penerima, keseimbangan
telah terjadi, berakhirnya suatu keinginan terhadap sesuatu, dan berakhirlah sudah 
cerita.
Dua skema aktan dan model fungsional yang diajukan oleh Greimas memiliki hubungan kausalitas: hubungan antaraktan ditentukan oleh fungsi-fungsi dalam membangun struktur cerita.

2.                  Tokoh dan Penokohan
Tokoh cerita (character), menurut Abrams (1981:20), adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatukarya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan  memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang di ekpresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tidakan.
Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, meskipun dapat juga berwujud binatang, atau benda yang diinsankan. Tokoh dalam cerita rekaan bersifat fiktif. Meskipun demikian, agar kehadirannya dapat diterima pembaca, tokoh hendaknya tidak terlalu asing bagi pembaca. Tetapi harus disadari pula bahwa tokoh di dalam cerita rekaan tidak sama persis dengan manusia pada dunia nyata. Tokoh cerita rekaan tidak sepenuhnya bebas. Ia merupakan bagian dari suatu keutuhan artistik, yaitu karya sastra.
Pembagian tokoh berdasarkan fungsinya, yaitu:

1)                  Tokoh Sentral
Tokoh sentral ini dibagi menjadi 3, yaitu:
(a) Tokoh Utama/Protagonis
Tokoh utama/protagonis yaitu tokoh yang memegang peran pimpinan. Ia menjadi pusat sorotan dalam cerita. Kriteria penentuan tokoh utama:
1.  Intensitas keterlibatan tokoh itu dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita.
2.  Hubungan antar tokoh
(b) Tokoh Antagonis (tokoh penentang protagonis)
(c) Tokoh Wirawan/Wirawati dan Antiwirawan

2) Tokoh Bawahan
Tokoh bawahan yaitu tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untukk menunjang atau mendukung tokoh utama. Yang termasuk tokoh bawahan misalnya:
(a) Tokoh Andalan
Tokoh andalan yaitu tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan protagonis yang dimanfaatkan untuk memberi gambaran lebih terinci mengenai tokoh utama.
(b) Tokoh Tambahan
Tokoh tambahan yaitu tokoh yang tidak memegang peranan yang penting dakam cerita, misalnya tokoh lantaran

Pembagian tokoh berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita, yaitu:
1) Tokoh Dasar/Sederhana/Pipih
Tokoh dasar/sederhana/pipih adalah tokoh yang hanya diungkap salah satu segi wataknya saja. Watak tokoh datar sedikit sekali berubah. Termasuk di dalam tokoh datar adalah tokoh stereotif.
2) Tokoh Bulat/Kompleks/Bundar
Tokoh bulat/kompleks/bundar adalah tokoh yang wataknya kompleks, terlihat kekuatan dan kelemahannya. Ia mempunyai watak yang dapat dibedakan dengan tokoh-tokoh yang lain. Tokoh ini dapat mengejutkan pembaca karena kadang-kadang darinya dapat terungkap watak yang tak terduga sebelumnya.

3.                  Latar
Menurut Corvin (dalam Bachmid, 1990:30-32) ruang dalam teks drama dapat dibedakan ke dalam ruang yang terlihat (yang teraktualisasikan) dan ruang yang tidak terlihat (yang mungkin diaktualisasikan), ruang yang bersifat fungsional, dan ruang yangbernilai metaforis. Ruang yang terlihat adalah ruang tempat para tokoh berlaku dan tempat cerita berlangsug. Sementara itu, ruang yang tidak terlihat dapat dikelompokkanlagi ke dalam (1) ruang tak terlihat di balik panggung (yang berfungsi memberi kesannyata pada lakuan terdapat pada kramagung), (2) ruang dekat (ruang yang kemudianakan diaktualisasikan oleh tokoh petunjuk: tokoh menyebut tempat yang akan di kunjungi), dan (3) ruang jauh (mengacu pada masa lampau atau pada dunia yang tidak nyata, misalnya dunia mimpi. Ruang yang bersifat fungsional tampak apabila menjadi latar cerita atau penunjang laku seorang tokoh. Terakhir, ruang yang bernilai metaforis akan muncul apabila pada teks drama atau pementasannya mengingatkan pembaca atau penonton untuk mengingat ruang lain di luar cerita sehingga dapat memunculkan interpretasi psikologis, metafisis, atau politik.

4.                  Perlengkapan
Perlengkapan berkaitan dengan jenis-jenis benda dalam teks drama atau teater. Perlengkapan juga tunduk pada konvensi seperti unsur yang telah kita sebutkan. Perlengkapan merupakan unsur khas drama atau teater, yang dapat berupa objek atau benda-banda yang diperlukan sebagai pelengkap cerita, seperti perlengkapantokoh, kostum, dan perlengkapan panggung. Perlengkapan (dalamkramagung dan wawancang) selalu sesuai dengan keperluan cerita. Menurut Ubersfeld (dalam Bachmid, 1990:32) membedakan benda-benda teaterberdasarkan fungsinya, yaitu (1) sekedar melengkapi lakuan (pistol, pedang, dsb.),  (2) bersifat referensial (misalnya, ruang tamu yang menunjukkan status sosial pemiliknya),dan (3) bersifat metaforis atau retoris (melambangkan realitas tertentu, psikolosis, atau sosiokultural).

5.                  Bahasa
Bahasa dalam drama konvensional juga tunduk pada konvensi stilistika. Misalnya, para tokoh melakukan dialog dengan menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan lingkungan sosial mereka serta watak mereka. Selain itu, seorang tokoh berkomunikasi dengan tokoh lainnya untuk menyampaikan suatu amananat. Kemudian, diantara mereka diharapkan terjadi dialog yang bermakna sehingga menyebabkan cerita berkembang.










B.                 Kajian Sosiologi sastra

A. Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya.
Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatar belakanginya.

B. Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan Menganalisis Karya Sastra
Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif.
Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain.
1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya.
2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi.
4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat.
5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan.
Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut.

1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren,1990:112)
2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.

3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989: 3-4) yang meliputi hal-hal berikut.
1. Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan : (a) bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya, (b) profesionalisme dalam kepengaragannya, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.

2. Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis, (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat, (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.

3. Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan (1) sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai pengbaharu dan perombak, (2) sastra sebagai penghibur saja, dan (3) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.

Dalam bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti yaitu:
1. Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal.
2. Karya, dengan kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya.
3. Audien atau pembaca (1981: 178).
Endraswara dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi (2003: 79). Sementara, Faruk (1994: 1) memberi pngertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.


Menurut Ratna (2003: 332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.
1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat.
2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3. Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan.
4. Berbeda denga ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut.
5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti melalui tiga perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
Sosiologi karya sastra itu sendiri lebih memperoleh tempat dalam penelitian sastra karena sumber-sumber yang dijadikan acuan mencari keterkaitan antara permasalahan dalam karya sastra dengan permasalahan dengan masyarakat lebih mudah diperoleh. Di samping itu, permasalahan yang diangkat dalam karya sastra biasanya masih relevan dalam kehidupan masyarakat.






BAB III
ANALISIS  TEKS “PELANGI” KARYA  N. RIANTIARNO

A.                Sinopsis
Mama (nyonya Lattumahina) adalah janda yang memiliki empat orang anak yang sudah beranjak dewasa yaitu Siska, Rody, Gina dan si bungsu Diana. Diana mengatakan pada sang mama bahwa ia sudah mempunyai calon suami yang akan datang untuk melamar dan menikahinya. Mama menyetujui niat putrinya tersebut untuk segera menikah dengan Hasan, laki-laki pujaan hatinya yang seorang dokter. Namun niat Diana untuk menikah tidak mulus lantaran Siska, kakak pertamanya tidak stentang niatnya untuk menikah dan kedatangan Hasan yang akan melamarnya meskipun mama dan Rody kakak ketiganya telah mendukung niatnya tersebut.
Suatu hari siska menemukan karangan bunga anggrek dan kartu ucapan yang ditujukan untuk Diana dan kelurganya dari Hasan yang isinya bahwa nanti malam ia akan datang untuk melamar resmi Diana. Seketika itu emosi Siska meningkat dan mengintrogasi Diana tentang maksud dari karangan bunga anggrek dan surat yang dikirim oleh Hasan tersebut. Diana akhirnya mengakui dan mengatakan pada Siska bahwa ia memang berniat untuk menikah dan nanti malam Hasan akan datang untuk melamarnya. Siska tetap tidak setuju, ia menghendaki Diana jangan terlebih dahulu menikah dan harus menyelesaikan kuliahnya terebih dahulu, namun Diana membantah. Baginya usianya sudah cukup matang untuk menikah dan menentukan masa depannya sendiri dan Siska tidak berhak untuk mengatur masa depannya. Sang mama pun membantu meluluhkan hati Siska dengan mengatakan bahwa ia sebenarnya sudah ingin menggendong cucu dengan harapan Siska akan mengijinkan adiknya menikah terlebih dahulu. Sesuai dengan surat yang dikirimnya, malam itu Hasan datang besama Suruh untuk melamar Diana. Namun sayang, Siska tetap kekeh pada pendiriannya untuk tidak menjinkan Diana menikah terlebih dahulu dan justru menyuruh Hasan untuk pulang. Hal ini membuat Rody sebagai kakak kedua Diana kecewa  hingga terjadi perdebatan sengit antara dirinya yang membela niat Diana  dan Siska yang menentang.
Dua bulan kemudian tanpa persetujuan Siska, Diana akhirnya menikah  dengan Hasan dan berangkat ke Banjarmasin. Seluruh keluarga Diana berharap ia bahagia disana dengan pernikahannya. Diana bercerita kepada mama tentang mimpinya. Ia bermimpi tentang seekor buruh layang-layang yang ingin terbang tinggi  menembus pelangi namun jatuh ketanah dan akhirnya mati. Setelah itu datang nenek dengan laxie anjinya yang telah sembuh dari sakitnya setelah si anjing dinikahkan dan ingin berterimakasih kepada Rody yang telah memberinya saran untuk menikahkan anjingnya tersebut. Tiba-tiba Siska menjerit begitu tahu keadaan mama. Sang mama telah meninggal.


B.                 ANALISIS STRUKTURAL TEKS “PELANGI” KARYA N.RIANTIARNO
1.                  Alur dan Pengaluran
Pengkajian alur dan pengaluran adalah menggunakan skema aktan dan bagan fungsional A.J Greimas. Kajian alur dan pengaluran penulis terhadap teks drama “Pelangi” karya N. Riantiarno adalah dengan skema aktan dan model fungsional berdasarkan jumlah  adegan dalam teks yang terdiri atas tiga adegan/babak dan satu skema aktan dan model fungsional A.J Greimas utama yang mencangkup keseluruhan adegan/babak dalam teks.

a.                  
Adegan
 1
Skema aktan teks “Pelangi” karya N.Riantiarno

PENGIRIM
Keinginan Diana
Untuk segera menikah
è

OBJEK
Menikah dengan Hasan
è
PENERIMA
Hasan


é






PENOLONG/
PEMBANTU
Mama
Rody
è

SUBJEK

Diana
ç
PENENTANG/
PENGHAMBAT
      Siska




PENGIRIM
Diana
è

OBJEK
Mengatakan pada Siska bahwa Hasan akan datang untuk melamar dan menikahinya
   è
Adegan
 2
PENERIMA
Siska


      é






PENOLONG/
PEMBANTU
Mama
Rody
Suruh
è

SUBJEK

Diana
ç
PENENTANG/
PENGHAMBAT
      Siska






PENGIRIM
Mimpi  Siska
è

OBJEK
Penyesalan Siska telah melarang Diana menikah
è
Adegan
3
PENERIMA
Mama


       é






PENOLONG/
PEMBANTU
Mimpi Siska
è

SUBJEK

Siska
ç
PENENTANG/
PENGHAMBAT
                 -










PENGIRIM
Keinginan hati Diana untuk menikah dengan Hasan
è

OBJEK
Harapan mendapatkan ijin  dari Siska
è
Keseluruhan
adegan
PENERIMA
Diana



      é








PENOLONG/
PEMBANTU
Mama
Rody
Suruh

è

SUBJEK

Diana


ç
PENENTANG/
PENGHAMBAT
    
       Siska

b.                  Bagan Fungsional



c.                   









SITUASI AWAL

TRANSFORMASI

Adegan 
1
SITUASI AKHIR

Tahap Uji Kecakapan
Tahap Utama
Tahap Keberhasilan

Keinginan Diana untuk menikah dengan Hasan, mendahului kakak-kakaknya.
Diana mengatakan perihal niatnya itu kepada mamanya juga kepada Rody, kakaknya.
Kebimbangan dan ketakutan hati Diana untuk mengatakan bahwa ia akan dilamar oleh Hasan kepada Siska.
Mama membantu meluluhkan hati Siska dengan mengatakan bahwa ia sudah ingin memiliki cucu.
Siska tetap ingin Diana menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu dan tidak terburu-buru menikah.











SITUASI AWAL

TRANSFORMASI

Adegan
2 
SITUASI AKHIR

Tahap Uji Kecakapan
Tahap Utama
Tahap Keberhasilan

Diana ingin mengatakan pada Siska bahwa Hasan akan datang untuk melamarnya.
Siska menemukan karangan bunga anggrek untuk diana dan surat yang isinya nanti malam Hasan akan datang untuk melamarnya.
Diana akhirnya mengatakan pada Siska bahwa nanti malam Hasan akan datang untuk melamarnya.
Hasan datang untuk melamar Diana namun Siska menolaknya. Ia tidak setuju Diana menikah terlebih dahulu.
Terjadi perdebatan sengit antara Siska dengan Rody perihal niat Diana untuk menikah

Adegan
3 
 
SITUASI AWAL

TRANSFORMASI

SITUASI AKHIR

Tahap Uji Kecakapan
Tahap Utama
Tahap Keberhasilan

Diana akhirnya menikah tanpa persetujuan Siska dan berangkat ke Banjarmasin.
Harapan seluruh keluarga Diana supaya Diana bahagia disana setelah menikah dengan Hasan.
Mimpi Siska tentang burung layang-layang yang ingin terbang menembus pelangi namun jatuh ketanah dan akhirnya mati.
Penyesalan Siska telah melarang Diana menikah dengan Hasan.
Mama akhirnya meninggal dunia.
SITUASI AWAL

TRANSFORMASI

Seluruh
  adegan
SITUASI AKHIR

Tahap Uji Kecakapan
Tahap Utama
Tahap Keberhasilan

Cerita berawal dari keinginan Diana untuk menikah dengan Hasan dan mendahului kakak-kakaknya.
Ketidaksetujuan Siska untuk Diana menikah. Ia ingin Diana Diana menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu baru menikah.
Akhirnya Diana mengatakan pada Siska bahwa Hasan akan datang untuk melamar dan menikahinya, namun siska tetap tidak setuju.
Diana dan Hasan akhirnya menikah tanpa persetujuan Siska dan mereka berangkat ke Banjarmasin.
Penyesalan Siska telah melarang Diana menikah dan kematian mama.









2.                  Tokoh dan Penokohan
Pengkajian terhadap tokoh dan penokohan akan penilis kaji berdasarkan tokoh utama, yaitu tokoh antagonis, protagonis, wirawan/anti wirawan. Dalam teks drama “Pelangi” karya N.Riantiarno jumlah tokohnya ada delapan, yaitu Mama, Siska, Gina, Rody, Diana, Oma, Hasan dan suruh. Namun dikaitkan dengan pengkajian berdasarkan  tokoh utama hanya akan dikaji enam tokoh, yaitu Mama, Siska, Rody, Gina, Diana dan Hasan.

a.                   Mama
Mama atau nyonya Lattumahina  adalah janda dan ibu dari empat orang anak yang lumpuh berusia 57 tahun. Mempunyai penyakit asmatis. Ia hanya bisa duduk terbaring di kursi roda untuk melakukan segala aktivitasanya. Tokoh mama termasuk wirawan karena mama sangat bijak dalam menanggapi permasalahan yang terjadi pada anak-anaknya. Ia membela niat Diana untuk menikah berusaha membantu meluluhkan hati Siska, tanpa memaksa. Seperti tampak pada kutipan berikut.
“Mama: Sudah waktunya ibu-ibu seumur aku menggendong cucu laki-laki atau perempuan. Alangkah bahagianya merasakan bayi kencing dipangkuanku, menangis keras-keras, melihat kalian sibuk membuat susu untuk anak kalian. .....” (Pelangi:15)
Dari kutipan tersebut dapat dilihat dialog tokoh mama sangat bijak dalam menanggapi ketidaksetuan Siska terhadap pernikahan Diana. Ia tidak  mengatakan secara langsung agar Siska menyetujui, namun dengan kata-kata yang halus sehingga tidak akan menyinggung perasaan Siska.

b.                  Siska
Siska adalah anak pertama mama yang berusia 31 tahun. Penokohan Siska termasuk tokoh yang antagonis karena Siska sangat menentang niat Diana untuk menikah. Selain itu, sebagai anak tertua Siska merasa dirinya berhak untuk mengatur masa depan adik-adiknya. Ia sesalu menganggap apa yang menjadi keputusannya benar dan harus ditaati oleh adik-adiknya, termasuk masalah masa depan. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Siska: Ya, itu juga bisa, tapi bukan itu yang kuinginkan. Aku mau kau menyelesaikan sekolahmu dulu. Selesai dari rumah ini, seperti pesan papa sebelum meninggal. Dan juga supaya kau merasa bersedia, rela banting tulang untuk kau Diana. Untuk kau!” (Pelangi:25)
Dari kutipan tersebut tampak Siska adalah tokoh antagonis karena tindakannya sangat mengekang masa depan Diana dan sangat menentang apa yang diinginkan oleh adik-adiknya, juga sangat ingin berkuasa.

c.                   Gina
Gina adalah anak kedua mama, adik pertama Siska yang berusia 30 tahun. Penokohan Gina dalam teks drama ini sebenarnya sangat terbatas, namun dari beberapa dialog yang ada Gina termasuk kedalam tokoh wirawan karena ia menjadi penengah keributan antara Siska dan Rody, seperti tampak pada kutipan berikut.
“ Gina: Rody, kau tahu, karena kau bisa merelakan Diana kawin lebih dulu dari kakak? (Rody menggeleng) karena kau laki-laki, kau bisa melakukan apa saja asal kau mau. Tapi Siska, dia perempuan. Dan nasib perempuan adalah menunggu itu dari dulu, biar bagaimanapun rasanya tabu baginya untuk mencari.” (Pelangi:30)
Dalam kutipan tersubut tampak tokoh Gina mempunyai budi pekerti yang luhur, ia dapat melerai dan menjadi penengah keributan antara Siska dan Rody.

d.                  Rody
Rody adalah kakak laki-laki Diana berusia 28 tahun. Tokoh Rody termasuk tokoh protagonis karena ia berusaha membela keinginan dan kebahagiaan Diana untuk menikah. Bahkan demi membela keinginan adiknya tersebut ia sampai bertengkar dengan Siska, kakaknya. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“ Rody: Tapi kau tak berhak melarang. Kau Cuma kakak. Cuma mama yang boleh melarang dan akhirnya tergantung Diana sendiri.” (Pelangi:23)
Dari kutipan tersebut tampak Rody sangat membela niat Diana untuk menikah dan berusaha memberi pengertian pada Siska tentang sikapnya yang keras kepala tidak mengijinkan Diana menikah.

e.                   Diana
Diana adalah anak bungsu dari mama Lattumahina. Adik ketiga dari Siska yang usianya 27 tahun. Diana termasuk kedalam tokoh protagonis dan menjadi sentral cerita, yaitu keinginannya untuk menikah mendahului kakak-kakaknya namun mendapat pertentangan dari Siska, Kakaknya. Dengan sabar ia berusaha memberikan pengertian kepada Siska bahwa pernikahan tidak akan mengganggu sekolahnya. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Diana : Aku janji akan lanjutkan sekolahku setelah kawin.” (Pelangi: 25)
Kutipan tersebut menunjukan sikap Diana tentang keinginannya menikah namun tanpa mengganggu sekolahnya dan ingin berjanji kepada Siska, dengan harapan Siska menyetujui niat pernikahannya.

f.                   Hasan
Hasan adalah kekasih Diana, Dokter yang baru saja lulus dan berumur 35 tahun. Hasan termasuk tokoh protagonis karena dengan sabar ia menanti Diana, walaupun Siska, kakaknya tidak merestuinya. Bahkan ketika datang untuk melamar Diana dan diusir oleh Siska ia tidak lantas marah tetapi sabar menunggu sampai semua keluarga Diana setuju. Seperti tampak pada kutipan berikut.
“Hasan: Apa boleh buat. Pintu masih terkunci mudah-mudahan lusa sudah terbuka sedikit hingga akau menduga apa isinya, baiklah, saya permisi. (Pelangi:28)
Dari kutipan tersebut tampak sekali sikap sabar Hasan, bahkan ketika datang untuk melamar Diana dan diusir oleh Siska ia tidak lantas marah tetapi sabar menunggu sampai semua keluarga Diana setuju.

3.                   Latar
·         Waktu
a.                   Waktu kini     
Pertentangan Siska atas niat Diana menikah terlebih dahulu.
“Siska: kalau memang betul laki-lakimu mencintaimu, biarlah dia pergi ke Banjarmasin, menyelesaikan tugas-tugasnya disini. Menyelesaikan sekolah 2 atau 3 tahun kan bukan soal biasa? Lagi pula kawin buru-buru tidak akan menghasilkan sesuatu hal yang baik. Sudah banyak contohnya, Norma dan Ferry contohnya.” (Pelangi:23)

b.                  Waktu lampau
Kebiasaan almarhum papa yang suka main sandiwara   natal di gereja-gereja.
Mama: “Dulu juga begitu. Sering main sandiwara natal. Main-main di gereja. Biasanya suka jadi imam besar kayafas...........” (Pelangi:5)

c.                   Waktu yang akan datang
            Niat kedatangan Hasan untuk melamar besok malam.
“Diana: Besok malam Hasan datang kemari.” (Pelangi:6)

·         Ruang
a.                   Ruang terlihat
- Ruang tengah rumah mama
Kisah ini terjadi seluruhnya diruan tengah rumah mama yang juga dipakai sebagai ruang dan ruang tengah. (Pelangi:1)


b.                  Ruang tak terlihat
-Dapur
Siska : (Cuma suaranya saja) Celaka...asap kompor bikin ruangan ini jadi hitam. Tugas sudah dibagi-bagi, masih tetap saja tidak tahu apa yang harus dilakukan. (Pelangi:17)
-Kamar
Diana : (Sambil masuk kedalam kamar) aku punya rencana untuk berhenti sekolah. Untuk meringankan beban untuk meringankan beban. (Pelangi:12)
-Luar rumah mama (Pekarangan rumah)
Rody: (dari luar) alaa papa juga mandinya cuma seminggu sekali. (Pelangi:13)

c.                   Ruang dekat
-Kota Banjarmasin
Ditempat yang sama. Dua bulan kemudian. Diana akhirnya kawin juga dengan Hasan Miscount tanpa persetujuan Siska. Kakaknya. Hari ini dia berangkat bersama suaminya ke Banjarmasin. (Pelang:31)
d.                  Ruang jauh
-Gereja
Mama: “Dulu juga begitu. Sering main sandiwara natal. Main-main di gereja. Biasanya suka jadi imam besar kayafas...........” (Pelangi:5)
-Kota Ambon
Mama: Kalau tahu kejadiannya bakal begini, kita akan tetap tinggal di Ambon dan tidak terburu-buru dengan yang lain pindah kemari. (Pelangi:6)

4.                  Perlengkapan
a. Sekedar melengkapi lakuan
-Hiasan-hiasan dinding dari kain bersulam
Dinding-dinding rumah berwarna putih bersih dengan hiasan-hiasan dinding dari kain bersulam. (Pelangi:1)
-Lampu
Hari itu pukul 17.30 sore ketika lampu ruangan menyala perlahan. (Pelangi:1)

-Meja makan dan kursi
Kisah ini terjadi seluruhnya diruan tengah rumah mama yang juga dipakai sebagai ruang dan ruang tengah. Ada meja makan dan 6 kursi. (Pelangi:1)
-Sofa
Kisah ini terjadi seluruhnya diruan tengah rumah mama yang juga dipakai sebagai ruang dan ruang tengah. Ada meja makan dan 6 kursi. Sofa lengkap dengan meja pendeknya. (Pelangi:1)

b. Bersifat referensial
    -Karpet
Rody: Karpet itu bau, mesti dicuci dulu, kemarin dulu kulihat sudah jadi sarang tikus, gudang tikus. (Pelangi:9)
-Gordin
“Mama: (Mererawang tapi sendat) kalau saja aku masih bugar pasti aku sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Gordin itu mesti diganti dengan yang baru. ...” (Pelangi:9)
-Anjing
Oma : (berbisik) Lexia sakit...(sambil menunjuk ke arah anjingnya yang digendong dengan sayang)
-Pispot
Mama: tidak, tidak apa-apa (minta tolong) pispot..( diana mengambil pispot dan memberikannya pada mama yang saat itu masih saja batuk). (Pelangi:2)
-Kursi roda
Hari itu pukul 17.30 sore ketika lampu ruangan menyala perlahan. Mama duduk di kursi roda berselimut kordurai hijau pekat. (Pelangi:1)
-Jendela
Mama:(melihat keluar jendela dengan nafas yang agak sesak) sudah yakin betul, ...” (Pelangi:3)
-karangan bunga anggrek
Siska: nanti kau lihat sendiri, kalau saja oma matimu tidak kemari dari tadi aku membicarakan hal ini. (Gina datang membawa karangan bunga anggrek)...” (Pelangi:22)
- kartu ucapan
Siska : (membaca kartu) Untuk mama Lattumahina dan kakak-kakak, ...” (Pelangi:22)

c.Bersifat metaforis atau retoris
Didalam teks drama “Pelangi” karya N. Riantiarno ini tidak ditemukan    perlengkapan yang bersifat metafora atau retoris (melambangkan realitas tertentu, psikolosis, atau sosiokultural). Semua hanya bersifat sekedar melengkapi lakuan dan referensial.

5.                                      Bahasa
Dalam teks drama “Pelangi” karya N.Riantiarno ini setiap tokohnya lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia yang baku dan baik. Namun beberapa dialog juga menunjukan adanya sedikit penggunaan bahasa daerah. Seperti tampak pada kutipan dibawah ini.
Siska    : Kau mesti berani mengambil resiko.
Gina    : Sudah. Gin, Sudah!
Diana  : Aku tidak minta kau ikut-ikutan menentukan masa depanku.  (Pelangi:25)
Ketiga rangkaian dialog tadi dapat menunjukan bahasa yang digunakan oleh para tokoh, yaitu bahasa Indonesia baku. Penggunaan bahasa daerah tampak pada kutipan berikut:
Nenek  : Mana nyong Rody? Betul? Seperti apa yang dia katakan. ...” (Pelangi:34)
Kata ‘Nyong’ merupakan bahasa daerah masyarakat Ambon yang artinya bung  (panggilan untuk laki-laki muda).











C.                 ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA

1.                  Konteks Sosial Karya Sastra
Di dalam teks drama “Pelangi” karya N. Riantiarno terkandung beberapa konteks sosial tentang realitas yang terjadi di masyarakat, realitas itu antara lain:

a.                   Keributan yang Dapat Mengganggu Tetangga
Dalam drama diceritakan pasangan muda Norma dan Ferry yang selalu bertengkar setiap hari dengan suara yang keras hingga mengganggu para tetangganya. Hal ini bertambah semakin parah kerena tinggal disekitar kompleks dengan rumah yang hampir tak ada jarak antara rumah yang satu dengan yang lain.
Mama: Dan juga kemarinnya, kemarinnya lagi. Hampir setiap hari selalu ada pertengkaran (menghela nafas) Ah, kadang-kadang mama ingin kita semua pindah dari kompleks ini ketempat yang lebih enak, lebih tenang, jauh dari kebisingan tetangga-tetangga yang suka usil dan berceloteh. ...” (Pelangi:1)
Dari kutipan tersebut tampak adanya ketidaknyamanan mama tinggal di komples yang selalu ada keributan setiap hari. Hal ini banyak juga terjadi di masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di komples perumahan dengan hampir tidak ada jarak antar rumah. Sedikit saja saja terjadi keributan disalah satu rumah akan terdengar dirumah tetangganya, dan itu sangat mengganggu ketentraman si tetangga. Bahkan kejadian ini tak jarang dapat menimbulkan keributan baru antar tetangga.

b.                  Usia Pernikahan Muda Banyak Menimbulkan Masalah
Berkaitan dengan teks drama “Pelangi” ini terdapat anggapan bahwa menikah muda banyak menimbulkan banyak masalah. Adanya tokoh simbolis Norma dan Ferry dalam drama ini yang memicu munculnya anggapan tersebut. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
Mama  : (Menggumam) Norma dan Ferry. Itulah akibatnya kalau kawin terlalu muda, selalu cekcok, tidak pernah tentram. (Pelangi:1)
Dari kutipan tersebut muncul anggapan bahwa menikah muda hanya akan banyak menimbulkan masalah. Realitas ini pula yang berkembang di masyarakat. Menikah di usia yang terlalu muda dianggap  sebagai pilihan yang akan menimbulkan masalah dalam rumah tangga. Anggapan ini muncul karena banyaknya pasangan nikah diusia muda yang tidak bisa saling mengontrol emosinya yang masih relatif sangat tinggi. Akibatnya percekcokan dan pertengkaran pun tidak bisa dihindarkan. Bagi wanita, menikah dibawah usia 20 tahun membawa resiko tersendiri, yaitu resiko meninggal ketika melahirkan yang lebih besar daripada wanita berusia 20 tahun keatas. Namun menikah di usia muda juga memiliki dampak positif, antara lain menikah dapat menghindarkan diri dari perbutan dosa yang yang dilarang oleh agama, bahkan dikatakan bahwa pernikahan dapat membuka pintu rejeki seseorang. Pada akhirnya menikah muda adalah suatu pilihan yang butuh keberanian untuk menjalankannya karena memiliki dampak positif dan negatif yang sama-sama besar.

c.                   Istri Harus Patuh dan Berbakti Kepada Suami
Realitas sosial bahwa istri harus patuh pada suami ditunjukan tokoh Diana dan Hasan. Setelah menikah dengan Hasan, Diana kemudian mengikuti suaminya pindah ke Banjarmasin. Seperti tampak pada kutipan berikut.
Ditempat yang sama. Dua bulan kemudian. Diana akhirnya kawin juga dengan Hasan Miscount tanpa persetujuan Siska. Kakaknya. Hari ini dia berangkat bersama suaminya ke Banjarmasin. (Pelangi:31)
Kutipan tersebut sebagai bukti empiris sekaligus menunjukan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Istri setelah menikah harus tunduk dan berbakti kepada suaminya. Mengikuti suami dan meninggalkan rumah keluarganya adalah wujud bakti seorang istri kepada suaminya. Bagi seorang wanita, terutama anak bungsu ini bukan perkara mudah. Wanita sebagai anak bungsu lebih banyak mempunyai ikatan emosional dan keterikatan yang tinggi dengan keluarganya, terutama dengan sang ibu sehingga seringkali terjadi pergolakan batin dalam dirinya. Namun ini menjadi resiko dan konsekuensi wanita dari sebuah pernikahan.

1.                  Konteks Budaya Karya Sastra
Di dalam teks drama “Pelangi” karya N. Riantiarno terkandung beberapa konteks budaya tentang realitas yang terjadi di masyarakat, realitas itu antara lain:


a.       Larangan Melangkahi Kakak Perempuan Dalam Pernikahan
Teks drama “Pelangi” karya N. Riantiarno secara tersirat nenampilkan adanya larangan melangkahi kakak perempuan dalam pernikahan. Pertentangan Siska atas niat Diana menikah memicu adanya anggapan ini, seperti yang terdapat pada kutipan berikut.
Siska: Kalau memang betul laki-lakimu mencintaimu, biarlah dia pergi ke Banjarmasin, menyelesaikan tugas-tugasnya disini. Menyelesaikan sekolah 2 atau 3 tahun menunggu kan bukan soal biasa? Lagipula kawin buru-buru tidak akan menghasilkan hal yang baik. Sudah banyak contohnya, Norma dan Ferry. (Pelangi:23)
Larangan itu muncul karena adanya ketidaksetujuan Siska jika Diana manikah terlebih dahulu dengan alasan harus menyelesaikan pendidikannya sampai mendapat gelar sarjana. Jika melihat lebih dalam ada ada semacam perasaan kecewa seorang kakak perempuan dilangkahi menikah oleh adiknya perempuannya, terlebih usia sang kakak yang sudah memasuki usia 30-an. Bagi wanita,  memasuki usia 30 dan belum mendapat pasangan adalah menjadi kekhawatiran sendiri. Anggapan perawan tua acapkali disematkan pada dirinya.
Pada sebagian masyarakat, memang merupakan sesuatu yang tabu jika adik melangkahi kakaknya dalam pernikahan. Bahkan ada yang baru dibolehkan menikah setelah 1 tahun kakaknya menikah. Beberapa masyarakat yang lain, mengatakan bahwa melangkahi kakak dalam pernikahan itu boleh-boleh saja, tetapi ada tradisi adat yang harus dilalui oleh sang kakak yaitu prosesi langkahan.

a.                   Tradisi Melamar Kepada Keluarga Wanita
Dalam teks drama “Pelangi” karya N.Riantiarno terdapat adanya tradisi melamar sang wanita kepada kelurganya. Hal ini dilakukan oleh Hasan dan perwakilan keluarganya (Surun) ketika datang kepada keluarga Diana untuk melamarnya.  Seperti tampak pada kutipan berikut.
Surun: Kami datang untuk melamar. Barangkali itu sudah diketahui. (Pelangi:27)
Pada acara lamaran ini, Keluarga calon mempelai pria mendatangi (atau mengirim utusan) ke keluarga calon mempelai perempuan untuk melamar putri keluarga tersebut menjadi istri putra mereka. Biasanya dengan membawa seserahan atau barang bawaan untuk si perempuan. Pada acara ini, kedua keluarga jika belum saling mengenal dapat lebih jauh mengenal satu sama lain, dan berbincang-bincang mengenai hal-hal yang ringan. Biasanya keluarga dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hak menentukan lebih banyak, diterima atau tidaknya lamaran tersebut.

b.                  Nilai-Nilai Karya Sastra
Di dalam teks drama “Pelangi” karya N. Riantiarno terkandung beberapa nilai-nilai yang ada di masyarakat. Nilai-nilai itu antara lain:

1.                  Nilai Moral
·                     Menjaga Tali Kekeluargaan dan Silaturahmi
Dalam teks drama “Pelangi” menunjukaan adanya pertengkaran antara Rody dan Siska yang membela Diana.  Seperti terlihat pada kutipan berikut.
Siska: Katakan, katakan saja aku tidak takut !
Rody: Jauh dilubuk hatimu, jauh didalam situ (Gina muncul diambang pintu, memperhatikan Rody yang sudah kalap)...kau tidak rela adik-adikmu mendahului kau untuk kawin. Kau berpikir picik tapi tidak mau berterus terang tentang harga dirimu.  (Pelangi: 29)
Pertengkaran ini harusnya tidak terjadi, karena hanya akan merusak tali kekeluargaan. Disini ada nilai moral yang bisa kita petik yaitu walaupun berbeda pendapat, jangan sampai menyelesaikan dengan pertengkaran. Bukan antar kelurga, di dalam bermasyarakat pun kita harus bisa saling menghargai perbedaan pendapat dan menyelesaikannya dengan jalan yang sebaik mungkin. Hal ini penting untuk tetap menjaga keharmonisan tali silaturahmi, baik didalam keluarga maupun didalam masyarakat.

2.                  Nilai Sosial
·                     Jangan Bertengkar Berlebihan Yang Dapat Mengganggu Tetangga

Dalam drama diceritakan pasangan muda Norma dan Ferry yang selalu bertengkar setiap hari dengan suara yang keras hingga mengganggu para tetangganya. Hal ini bertambah semakin parah kerena tinggal disekitar kompleks dengan rumah yang hampir tak ada jarak antara rumah yang satu dengan yang lain.
Mama: Dan juga kemarinnya, kemarinnya lagi. Hampir setiap hari selalu ada pertengkaran (menghela nafas) Ah, kadang-kadang mama ingin kita semua pindah dari kompleks ini ketempat yang lebih enak, lebih tenang, jauh dari kebisingan tetangga-tetangga yang suka usil dan berceloteh. ...” (Pelangi:1)
Disini harus muncul suatu kesadaran dari pasangan tersebut bahwa bertengkar berlebihan dan dengan suara keras dapat mengganggu ketentraman tetangganya, terlebih dengan kondisi kompleks perumahan yang hampir tidak ada jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lain. Tak jarang karena keadaan ini dapat menimbulkan keributan.  Dengan menjaga diri dari keributan yang berlebihan , hal itu juga akan dapat menjaga keharmonisan bertetangga.

3.                  Nilai Budaya
·                     Tradisi Melamar Kepada Keluarga Wanita
Nilai budaya ini muncul dalam cerita. Hal ini dilakukan oleh Hasan dan perwakilan keluarganya (Surun) ketika datang kepada keluarga Diana untuk melamarnya.  Seperti tampak pada kutipan berikut.
Surun: Kami datang untuk melamar. Barangkali itu sudah diketahui. (Pelangi:27)
Pada acara lamaran ini, Keluarga calon mempelai pria mendatangi (atau mengirim utusan) ke keluarga calon mempelai perempuan untuk melamar putri keluarga tersebut menjadi istri putra mereka. Biasanya dengan membawa seserahan atau barang bawaan untuk si perempuan. Pada acara ini, kedua keluarga jika belum saling mengenal dapat lebih jauh mengenal satu sama lain, dan berbincang-bincang mengenai hal-hal yang ringan. Biasanya keluarga dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hak menentukan lebih banyak, diterima atau tidaknya lamaran tersebut.

4.                  Nilai Religi
·                     Penikahan Berbeda Agama
Dalam teks drama ini nilai religi muncul ketika Diana yang seorang non muslim akan menikah dengan Hasan yang seorang muslim. Seperti tampak pada kutipan berikut.
Mama: islam ia. (cepat) ahh, tetapi tak apa, banyak orang yang kawin berlainan agama tapi bisa hidup bahagia itu artinya kamu mesti kawin di catatan sipil. Lalu kau dia tidak keberatan, kalau mau ulang saja di gereja, kita ulang lagi upacaranya. (Pelangi:7)
Didalam Islam sendiri sebenarnya tidak diijinkan adanya pernikahan berbeda agama, bahkan menjadi sesuatu yang diharamkan. Dengan adanya pernikahan berbeda agama antara Diana dan Hasan, sebenarnya menjadi unsur pelanggaran terhadap norma agama.

5.                  Nilai Psikologis
·                     Nilai Psikologis Seorang Anak
Nilai psikologis dalam drama ini muncul ketika Diana menikah dengan Hasan dan harus meninggalkan keluarganya setelah menikah untuk mengikuti Hasan, suaminya. Hal ini muncul dalam kutipan berikut.
Ditempat yang sama. Dua bulan kemudian. Diana akhirnya kawin juga dengan Hasan Miscount tanpa persetujuan Siska. Kakaknya. Hari ini dia berangkat bersama suaminya ke Banjarmasin. (Pelangi:31)
Disini tentu mempunyai nilai psikologis yang tinggi, yaitu Diana sebagai anak bungsu lebih banyak mempunyai ikatan emosional dan keterikatan yang tinggi dengan keluarganya, terutama dengan sang ibu sehingga seringkali terjadi pergolakan batin dalam dirinya.

·                     Nilai Psikologis Seorang Ibu
Nilai psikologis kembali muncul ketika mama menerima telepon dari Diana, seperti kutipan berikut.
Mama: Tadi Diana menangis, tapi aku yakin, itu lantaran dia bahagia seorang laki-laki akan menjaga dia seumur hidupnya. Ah anak itu nasibnya baik, dokter itu tampan lagi. Bukankah bisa kita lihat, Hasan betul-betul mencintainaya, Sis? Sis? (Pelangi:32)
Nilai psikologis muncul pertama kali ketika mama harus merelakan putri bungsunya pergi bersama suaminya dan meninggalkan kelurganya. Kedua ketika mama mendapat telepon dari Diana yang menangis dan ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa putrinya tersebut menangis karena bahagia. Padahal mungkin dalam pikirannya ia sangat khawatir akan keadaan Diana bersama suaminya disana. Tentang bahagia atau tidaknya Diana setelah lepas dari pelukannya, keluarga yang selalu menyanyanginya.

6.                  Nilai Didaktis
·                     Kerja Keras dan Tanggung Jawab
Sikap kerja keras ini ditunjukan oleh tokoh Siska dan Gina yang kerja hingga 10 jam sehari demi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan membiayai kuliah Diana, adiknya. Seperti tampak pada kutipan berikut.
Siska: ....Supaya aku dan Gina yang kerja 10 jam satu hari untuk mengumpulkan uang sedikit demi sedikit selama 8 tahun membiayai sekolahnya tidak merasa disia-siakan. ...” (Pelangi: 23).
Dari kutipan tersebut tampak sikap kerja keras dan tanggung jawab, terutama Siska. Sebagai anak pertama ia merasa mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarganya serta bertanggung jawab atas masa depan pendidikan adiknya.





















D.                Kesimpulan Analisis
1.      Analisis Struktural
Secara garis besar, alur dan pengaluran teks drama “Pelangi” ini bercerita tentang keinginan Diana untuk menikah dan konflik terjadi ketika keinginannya tersebut ditentang oleh Siska, kakak pertamanya. Tahap utama ketika Diana akhirnya menikah dengan Hasan tanpa persetujuan Siska dan berangkat ke Banjarmasin dan situasi akhir cerita berakhir dengan penyesalan Siska dan kematian sang mama. Dalam teks drama ini Siska menjadi satu-satunya tokoh utama yang bersifat antagonis dan Diana, Rody, Hasan sebagai tokoh protagonis. Sementara mama dan Gina sebagai tokoh wirawan, karena mereka memiliki pemikiran yang luhur. Latar drama ini secara keseluruhan terjadi ruang tengah rumah mama sebagai ruang terlihat dan kamar, dapur, pekarangan rumah sebagai ruang tak terlihat. Perlengkapan adalah unsur khas dari pertunjukan drama, antara lain yaitu karpet, gordin, anjing, pispot, kursi roda, karangan bunga anggrek dan kartu ucapan  sebagai perlengkapan referensial atau yang harus ada. Hiasan-hiasan dinding dari kain bersulam, lampu, meja makan plus kursi dan sofa adalah perlengkapan yang bersifat sekedar melengkapi lakuan.
Bahasa yang digunakan dalam teks drama ini secara keseluruhan lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia baku namun ada sedikit penggunaan bahasa daerah.

2.        Analisis Sosiologi Sastra
Secara sosiologi sastra, pengkajian teks drama “Pelangi” ini memuat beragam konteks sosial budaya kemasyarakatan serta nilai-nilai yang  ada di masyarakat. Konteks sosial adalah seorang istri yang harus patuh dan berbakti kepada suami, usia pernikahan muda banyak menimbulkan masalah dan keributan yang dapat mengganggu tetangga. Sementara konteks budaya yang terkandung antara lain tradisi melamar dan larangan melangkahi kakak perempuan dalam pernikahan. Semua konteks itu dapat kita jumpai penerapannya  dimasyarakat. Selain konteks sosial budaya kemasyarakatan, teks drama ini juga memuat beragai nilai-nilai seperti nilai moral, nilai sosial, nilai budaya, nilai religi, nilai psikologis dan nilai didaktis yang dapat diambil sebagai suatu hikmah dari teks drama “Pelangi” ini.


BAB IV
PENUTUP

A.                Kesimpulan
Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks.
Talha Bachmid (1990:1-16), seorang doktor dalam bidang kajian drama, mengutip pendapat Patrice Pavis bahwa drama memiliki konvensi dan kaidah umum, yang dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar. Yang pertama berhubungan dengan kaidah bentuk, seperti unsur alur dan pengaluran, tokoh dan penokohan, latar ruang dan waktu, dan perlengkapan. Yang kedua berkaitan dengan konvensi stilistika atau bahasa dramatik.
Sementara sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi (2003: 79). Sementara, Faruk (1994: 1) memberi pngertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses-proses sosial.
Dalam sosiologi sastra, permasalahan yang diangkat dalam karya sastra biasanya masih relevan dalam kehidupan masyarakat.

B.           Saran
Pembaca, sebagai peminat karya sastra hendaknya juga dapat melakukan pengkajian karya sastra supaya dapat lebih memahami unsur-unsur karya sastra secara lebih mendalam rangkaian hikmah yang ada dan untuk mengetahui lebih dekat macam-macam teori pengkajian sastra agar dapat menambah wawasan pembaca.






DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. (981).Glossary of Literary Terms. New York: Holt. Rinehart
and Winston.
Luxemburg, Jan Van & Mieke Bal Willem G.W. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia Daftar Pustaka.
Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori sastra. Jakarta: Pustaka Jaya